Senin, 15 Desember 2008

TAWURAN PELAJAR SMA


Tawuran yang terjadi antar pelajar dikarenakan kondisi usia mereka ingin menunjukkan jati diri mereka, ingin lebih dikenal dengan sebutan berani, keren, dan solider. Tawuran bisa terjadi karena hal-hal remeh yang diperbesar oleh pihak lawan dengan membalasnya entah itu memaki, menghina, memukul, dsb. Nah karena dilakukan banyak orang maka dinamai tawuran.
Terus gimana dengan tawuran antar mahasiswa, tawuran antar kampung, wajar gak sih? Aku bilang semuanya enggak wajar loh. Kenapa? Menurutku, tawuran adalah hasil dari otak primitif kita. Jadi begini, menurut ahli neuorologi bernama Paul MacLean, di kepala kita ada tiga jenis otak yang disebutnya sebagai “triune brain”. Otak paling rendah bernama otak reptil yang kadang disebut sebagai “otak primitif”. Otak yang lebih tinggi dari otak reptil dinamai otak mamalia atau disebut sebagai “otak tengah” (midbrain). Otak paling canggih adalah otak bahasa yang terletak di posisi paling atas dan terdiri atas lipatan-lipatan (neocortex). Ketiga otak ini saling berkaitan sekaligus ketiganya juga punya fungsi sendiri-sendiri.Otak primitif mengatur fisik kita untuk bertahan hidup, mengelola gerak refleks, mengendalikan gerak motorik, memantau fungsi tubuh, dan memproses informasi yang masuk dari pancaindera. Saat menghadapi ancaman atau keadaan bahaya, bersama dengan otak tengah, otak primitif menyiapkan reaksi “hadapi atau lari” (fight or flight response) bagi tubuh. Sehingga kita akan bereaksi secara fisik dan emosi lebih dulu sebelum otak bahasa/pikir sempat memproses informasi.
Itu menandakan tawuran hanya sekedar aksi reaksi ajah gak mikir dulu. Semua hewan juga melakukan loh, coba aja gangguan kucing tetangga, pasti dicakar kan. Itu sih primitif banget. Terutama mahasiswa yang tawuran itu, mereka kan lebih terpelajar, seharusnya lebih mengedepankan rasio daripada emosi. Akibatnya yah saling serang kampus deh. What’s wrong with all of you? Biaya kuliah mahal loh, sebaiknya mikirin masa depan dulu deh daripada berantem gak jelas apa yang mau dibela. Harga diri? Lebih punya harga diri jika sama-sama menang di medan dialog yang menghasilkan solusi damai tanpa merusak.
Terus gimana cara ngatasi tawuran, minimal diri kita gak ikut-ikut? Coba baca yang berikut ini.
Menurut MacLean, dan juga para pakar lain seperti Michael Persinger (penemu God Spot), Danah Zohar dan Ian Marshall (pengembang dan peneliti Spiritual Intelligence), serta peneliti lain, jJika kita tidak memiliki kecakapan berpikir, mustahil kita dapat mengendalikan otak yang ada di tengah (otak emosi) dan otak primitif. Apabila kita tidak dapat mengendalikan otak emosi (tidak mampu merenung atau berefleksi), maka otak emosi ini akan memola cara bersikap kita. Jika ada hal-hal yang tidak menyenangkan diri kita, kita langsung marah atau menunjukkan kebencian. Ini tentu akan mendatangkan kerugian bagi diri kita karena akan mengganggu hubungan atau kerja sama dengan orang lain.
Artinya apa tuh? Kita harus memiliki kecakapan berpikir dulu, sehingga bisa mengendalikan otak emosi dan otak primitif. Bagaimana caranya? Dengan belajar mengenali dan menemukan informasi, mengolahnya, dan mengambil keputusan, serta memecahkan masalah secara kreatif. Nah itu dibutuhkan kesabaran. Artinya jangan terpancing emosi, olah dulu, sintesis dulu, temukan solusi kreatif baru bertindak. Jangan udah gebukin eh ternyata kita yang keliru. Jadi orang yang sabar yah. Kalo ada yang memicu mending kabur aja deh gak usah ikut-ikutan, kalo ikut maka sendiri rugi dan kita juga sama saja dengan orang yang memicu tawuran.


Konvoi Tetap Warnai Pengumuman
Bentrokan Pelajar Tak Terhindarkan di Wolter Monginsidi
Yogyakarta, Kompas - Meski sudah diimbau untuk tidak melakukan coret-coret seragam dan konvoi kendaraan, ratusan siswa yang lulus ujian nasional tetap melakukannya pada hari pengumuman hasil UN SLTA, Rabu (13/6). Mereka berkeliling sekitar kota sambil membunyikan klakson dan mem-bleyer- mbleyer suara kendaraan dengan keras.
Menurut sejumlah siswa, hal itu mereka lakukan sebagai ungkapan kegembiraan karena berhasil lulus Ujian Nasional (UN) 2007. Namun, ulah itu disesalkan oleh warga dan kepala sekolah. "Pelajar kok bersikap tidak tertib begitu. Apa ini hasil pendidikannya. Itukan mengganggu, membuat warga miris," kata Maryati, ibu rumah tangga yang terpaksa meminggirkan sepeda motor yang ia kendarai ketika serombongan pelajar melintas di Jalan Kenari.
Arak-arakan siswa dengan baju penuh coret-coret terus berlangsung sampai sore hari. Bahkan, kadang-kadang bentrokan perkelahian antarapelajar tak terhindarkan. Ini seperti yang disaksikan Kompas di pertigaan Borobudur Plaza, tepatnya di ujung Jalan Wolter Monginsidi, pukul 15.30.
Sekelompok anak SMA dari barat tiba-tiba melempar batu serta menyerbu sekelompok anak SMA yang datang dari timur. Di tengah keramaian lalu lintas, kelompok anak dari timur dipepet, beberapa terjatuh di trotoar jalan sebelah selatan. Mereka dilempar batu sekepalan tangan dan satu siswa yang terjatuh kemudian diinjak beramai-ramai. Untung ada warga yang memisahkan perkelahian tak seimbang itu sehingga keadaan tak berkembang menjadi semakin anarkis. Belum diketahui luka-luka anak yang terjatuh tersebut.
Bagi siswa, coret-coret ialah lambang kegembiraan. Di Bantul coret-coret seragam juga dilakukan sejumlah siswa tanpa bisa dicegah pihak sekolah. "Kami senang telah lulus UN. Ini adalah perayaan kami dan untuk kenang-kenangan kelulusan," kata Adit, siswa salah satu SMAN favorit di Yogyakarta.
Hanya orangtua
Sebelumnya sekolah-sekolah dan Dinas Pendidikan DI Yogyakarta telah meminta siswa agar tidak melakukan coret-coret baju seragam. Untuk mencegah hal itu, pengumuman UN pun dikirimkan ke masing- masing tempat tinggal siswa. Selain itu, sekolah hanya mengundang orangtua siswa untuk menerima hasil UN.
Cara mengumumkan kelulusan yang berbeda dilakukan SMAN 6 Yogyakarta karena dilaksanakan di enam lokasi di luar sekolah. Pertimbangannya, pengumuman jangan sampai mengganggu ulangan umum kelas I dan II, selain itu untuk meminimalisasi coret-coret. Abu Suwardi, Kepala SMAN 8 Yogyakarta, mengatakan siap memberikan sanksi jika ada siswanya ikut-ikutan aksi coret-coret.
Di SMKN 6 Yogyakarta yang sebagian besar siswanya perempuan, siswa mengungkapkan rasa gembira lulus UN dengan berdoa bersama dan bersalam-salaman dengan para guru di aula sekolah.
Berbeda dengan hasil UN untuk DIY yang secara umum tingkat kelulusan jenjang SMA meningkat, di Bantul justru tingkat kelulusan SMA tahun ini menurun dibandingkan dengan tahun lalu, tetapi kelulusan siswa SMK justru naik. Staf Bagian Perencanaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Bantul Medi Siswantoro menuturkan, kelulusan siswa SMA jurusan IPA tahun ini 94,25 persen, turun 1,30 persen dibandingkan dengan tahun lalu, yaitu 95,55 persen.
Di Sleman tingkat kelulusan siswa tahun ini meningkat sekitar 2 persen untuk SMA dan SMK 5 persen. Peningkatan ini salah satunya menunjukkan keberhasilan UN yang dilakukan tahun ini meningkat dibanding sebelumnya.
Tahun lalu tingkat kelulusan SMA mencapai 90.24 persen, SMK 87.44 persen. Tahun ini SMA 91.87 persen dan SMK 92.59 persen.

Gejala dan Akar Penyebabnya kenakalan remaja

Istilah stress dan depresi sering tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Setiap permasalahan kehidupan yang menimpa seseorang disebut stressor psikososial, yang dapat mengakibatkan gangguan fungsi organ tubuh. Reaksi tubuh (fisik) dinamakan stress. Manakala fungsi organ-organ tubuh sampai terganggu dinamakan distress. Sedangkan depresi adalah reaksi kejiwaan (psikis) seseorang terhadap stressor yang dialami. Karena faktor fisik dan psikis dalam diri manusia saling mempengaruhi, maka antara stress dan depresi juga saling mempengaruhi dan merupakan satu kesatuan. Reaksi kejiwaan lainnya yang berhubungan dengan stress adalah kecemasan (anxiety).
Kecemasan dan depresi merupakan dua jenis gangguan kejiwaan yang saling berkaitan. Seseorang yang mengalami depresi sering juga mengalami kecemasan, demikian pula sebaliknya. Gejala fisik maupun psikis (depresi dan kecemasan) sering tumpang-tindih, tidak ada batasan yang jelas. Seseorang yang mengalami stress dapat diartikan bahwa orang itu memperlihatkan berbagai keluhan fisik, kecemasan, dan juga depresi. Faktor-faktor psikososial seperti masalah keuangan, pekerjaan, keluarga, hubungan interpersonal dan sebagainya cukup menjadi pemicu terjadinya stress atau depresi pada seseorang. Depresi ditandai dengan kemurungan, kelesuan, ketiadaan gairah hidup, perasaan tidak berguna, putus asa, dan sebagainya.
Terus Meningkat
Dari sekian banyak masalah kesehatan yang cenderung meningkat, kesehatan jiwa merupakan masalah yang makin nyata peningkatannya. Data yang diperoleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan, 10 persen dari populasi penduduk dunia membutuhkan pertolongan atau pengobatan di bidang kesehatan/psikiatri. Bahkan menurut studi World Bank tahun 1993 di beberapa negara, 8,1 persen dari global burden disease (penyakit akibat beban globalisasi) disebabkan oleh masalah kesehatan jiwa, yang menunjukkan dampak yang lebih besar daripada penyakit TBC (7,2 persen), kanker (5,8 persen), jantung (4,4 persen), dan malaria (2,6 persen). Hasil survei Prof. Ernaldi Bahar tahun 1995 dan Direktorat Kesehatan Jiwa tahun 1996 menyatakan, bahwa di Indonesia, 1-3 dari setiap 10 orang mengalami gangguan jiwa. Gangguan jiwa yang dimaksud bukanlah gangguan jiwa yang dipahami oleh sebagian masyarakat sebagai “orang gila”, tetapi dalam bentuk gangguan mental serta perilaku yang gejalanya mungkin tidak disadari oleh masyarakat; seperti depresi, kecemasan, kepanikan, penyakit yang berhubungan dengan kondisi psikologis (psikosomatis); juga yang berhubungan dengan masalah psikososial seperti tawuran, perceraian, kenakalan remaja, dan penyalahgunaan Napza (narkotika, psikotropika, dan zat adiktif yang lain).
Berapa banyak anggota masyarakat Indonesia yang mengalami depresi belum ada data yang pasti. Namun, diperkirakan jumlahnya semakin banyak karena beberapa hal, antara lain: usia harapan hidup semakin bertambah, stressor psikososial semakin berat, berbagai penyakit kronik semakin bertambah, serta kehidupan masyarakat yang semakin hedonistik dan jauh dari nilai-nilai transendental (ruhiah). Meningkatnya angka depresi juga dapat dilihat dari semakin banyaknya pasien yang berobat di klinik psikiatri di rumah sakit, meningkatnya pemakaian obat-obat anti depresi, dan semakin meningkatnya kasus bunuh diri.
Depresi merupakan penyebab utama bunuh diri. Bunuh diri sebagai jalan terakhir bagi orang yang mengalami depresi juga meningkat tajam. Jumlah kasus bunuh diri di Indonesia selama 6 bulan terakhir pada tahun 2004 sudah mencapai 92 kasus. Hampir menyamai jumlah seluruh korban tahun 2003 yang tercatat 112 kasus. Peningkatan kasus ini jelas merupakan suatu gejala yang mencemaskan. Faktor penyebab dari banyaknya kasus bunuh diri adalah adanya ketidakmampuan seseorang dalam mengelola stress yang dialami.
Di AS, setiap tahun sekitar 1,3 juta orang mencoba bunuh diri dan lebih kurang 400.000 orang di antaranya tewas. Angka ini 1,5 kali lebih banyak daripada angka kematian akibat tindak kriminal. Walhasil, angka bunuh diri di AS menempati urutan ketiga terbesar penyebab kematian penduduk usia 15-24 tahun. Salah satu tempat favorit untuk bunuh diri adalah jembatan terkenal Golden Gate Bridge di San Fransisco. Lebih kurang 850 orang di laporkan telah tewas bunuh diri di jembatan berwarna merah yang sangat terkenal itu (Kompas, 17/7/2004).
Faktor Penyebab
Penyebab stress kadangkala mudah untuk dideteksi, tetapi sering sulit untuk diketahui. Ada yang mudah untuk dihilangkan, ada yang sulit atau bahkan tidak bisa dihindari. Tiga sumber utama adalah: lingkungan (keluarga dan masyarakat serta negara), badan dan pikiran yang keduanya bisa dimasukkan sebagai faktor individu.
Faktor Individu.
Stress dapat ditimbulkan oleh perubahan faali pada tubuh seseorang yang terjadi. Contohnya, perubahan yang terjadi waktu remaja, perubahan fase kehidupan akibat fluktuasi hormon, dan proses penuaan. Selain itu, datangnya penyakit, makanan yang tidak sehat, kurang tidur dan olahraga juga akan mempengaruhi respon terhadap stress.
Potensi stress utama juga datang dari pikiran yang terus-menerus menginterpretasikan isyarat-isyarat dari lingkungan secara tidak tepat. Bagaimana seseorang menginterpretasi peristiwa-peristiwa yang terjadi menentukan apakah ia akan mengalami stress atau tidak. Ini sangat dipengaruhi oleh cara berpikir seseorang dari yang bersifat sederhana sampai yang filosifis menyangkut pandangan hidup. Contoh sederhana, di depan ada gelas berisi air separuh, bagaimana seseorang milihatnya? Sebagai setengah penuh atau setengah kosong? Pikiran-pikiran yang menyebabkan stress sering bersifat negatif, penuh kegagalan, katastrofik, hitam-putih, terlalu digeneralisasi, tidak berdasarkan fakta yang cukup, dan terlalu dianggap pribadi.
Pandangan hidup seseorang sangat berpengaruh pada bagaimana orang tersebut menjalani kehidupannya. Pandangan hidup yang materialistis tentu akan mempengaruhi cara berpikir dan perilaku seseorang. Tolok ukur keberhasilan dan kesuksesan hidup jadinya bersifat material. Akibatnya, jika kebutuhan itu tidak terpenuhi, akan timbul kegelisahan yang luar biasa. Ketika orang kehilangan pangkat, jabatan, status sosial, uang, kekuatan fisik, intelektual, cinta, perhatian, dan lain-lain yang bersifat lahiriah, maka ia bisa merasa tak berguna lagi.
Di sinilah pentingnya memahami apa sesungguhnya hakikat manusia diciptakan. Pemahaman ini akan mengubah cara pandang terhadap peristiwa apapun yang dihadapi dalam hidup ini sehingga memunculkan keberanian dan optimisme.
Faktor Lingkungan.
Lingkungan selalu membuat kita harus memenuhi tuntutan dan tantangan, yang karenanya merupakan sumber stress yang potensial; misalnya ketika orang mengalami musibah akibat terjadinya bencana alam (banjir, gempa bumi dan sebagainya) atau cuaca buruk, kemacetan lalu-lintas, beban pekerjaan, problema rumahtangga, dan hubungan antarmanusia; atau ketika orang dituntut untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan kondisi keuangan, pindah kerja, atau kehilangan orang yang dicintai.
Lingkungan paling dekat dan karenanya sangat mudah mempengaruhi kondisi kejiwaan seseorang adalah keluarga. Kehadiran orangtua (terutama ibu) dalam perkembangan jiwa anak amat penting. Jika anak kehilangan peran dan fungsi ibunya—sehingga dalam proses tumbuh kembangnya ia kehilangan haknya untuk dibina, dibimbing, diberikan kasih sayang, perhatian, dan sebagainya—maka ia disebut mengalami “deprivasi maternal”. Jika peran ayahnya yang tidak berfungsi, maka ia disebut sebagai “deprivasi paternal”.
Dalam keluarga yang mengalami disfungsi perkawinan, peran orangtua dalam mendidik anak akan terganggu. Akibatnya, besar kemungkinan selama pertumbuhannya, anak akan mengalami deprivasi. Anak mungkin tidak kehilangan ibunya secara fisik. Namun, jika peran ibu yang amat penting dalam proses imitasi dan identifikasi dirinya tidak ada, maka perkembangannya akan terganggu. Hal yang sama bakal terjadi pada anak jika figur dan peran ayahnya tidak ada.
Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang mengalami disfungsi perkawinan dan mengalami deprivasi maternal (juga paternal dan atau parental), mempunyai risiko tinggi menderita gangguan kepribadiannya; yaitu gangguan dalam perkembangan mental-intelektual, perkembangan mental-emosional, bahkan perkembangan psikososial dan spiritualnya. Tidak jarang dari mereka, jika kelak dewasa, akan memperlihatkan berbagai perilaku yang menyimpang, anti sosial, bahkan sampai melakukan tindak kriminal.
Anak-anak sebagaimana digambarkan di atas pada umumnya dibesarkan dalam keluarga yang tidak sehat dan tidak bahagia. Hal ini disebabkan karena ketidakberadaan orangtua atau karena tidak berfungsinya orangtua sebagaimana mestinya. Dalam 20 tahun terakhir ini, para ahli telah melakukan berbagai penyelidikan perihal pola perkawinan/keluarga yang ternyata tidak sehat dan tidak membawa kebahagian rumahtangga, yang dampaknya amat tidak baik bagi tumbuh-kembang anak.
Dua sarjana dari Universitas Nebraska (AS), yaitu Prof. Nick Stinnet dan Prof. John De Frain, dalam studinya yang berjudul, “The National Study On Family Strenght,” mengemukakan bahwa paling sedikit harus ada enam kriteria bagi perwujudan suatu keluarga/rumahtangga yang dapat dikategorikan sebagai keluarga yang sehat dan bahagia, yang amat penting bagi tumbuh kembangnya anak. Keenam kriteria tersebut adalah:
§ Kehidupan beragama dalam keluarga.
§ Mempunyai waktu untuk bersama.
§ Mempunyai pola komunikasi yang baik antar sesama anggota keluarga.
§ Saling menghargai satu sama lain.
§ Masing-masing anggota keluarga merasa terikat dalam ikatan keluarga sebagai kelompok.
§ Jika terjadi suatu permasalahan, mampu menyelesaikan secara positif dan konstruktif.
Para ahli berpendapat bahwa perceraian, perpisahan, serta pertengkaran antara ayah dan ibu akan berpengaruh pada anak. Anak mempunyai risiko tinggi untuk menjadi nakal dengan tindakan-tindakan anti sosial. Berikut ini adalah hasil penelitian yang menunjukkan adanya pengaruh kondisi orangtua terhadap kenakalan anak. (M. Rutter: Parent-Child Separation, 1980).
1. Pada keluarga broken homes, kenakalan anak laki-laki jauh lebih tinggi presentasinya daripada keluarga yang orangtuanya meninggal atau keluarga utuh.
2. Meskipun keluarga utuh (kedua orangtua masih hidup dan tinggal satu atap), suasana rumah yang tidak sehat dan tidak bahagia akan menyebabkan prosentase anak menjadi nakal semakin tinggi. Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Graig dan Glick (1965), Mc Cord (1959), Tait dan Hodges (1962).
3. Ada perbedaan perkembangan anak yang hidup dalam suasana rumah yang tegang (tension) dan hangat (warm). Suasana rumahtangga yang tegang mengakibatkan tingginya prosentase perilaku menyimpang anak. Sebaliknya, suasana rumah yang hangat di antara kedua orangtua menurunkan prosentase kenakalan anak.
4. Hubungan buruk antara anak dan kedua orangtua mengakibatkan prosentase kenakalan anak meningkat.
Lingkungan kedua yang memasok faktor munculnya stress tentu saja adalah masyarakat. Masyarakat yang berpaham materialis cenderung individualis. Kepekaan terhadap lingkungan sosialnya sangat rendah. Orang akan bersaing untuk untuk dirinya sendiri dengan berbagai cara tanpa mempedulikan kepentingan orang lain. Hubungan interpersonal semakin fungsional dan cenderung mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan seperti keramahan, perhatian, toleransi, dan tenggang rasa. Akibatnya, tekanan isolasi dan keterasingan kian kuat; orang makin mudah kesepian di tengah keramaian. Inilah yang disebut lonely crowded, gejala mencolok dari masyarakat kapitalis di mana-mana.
Orang yang banyak mengikuti kegiatan sosial seperti pengajian, dakwah, dan kegiatan sosial lain akan merasa dirinya diperhatikan sebagai bagian dari kebersamaan. Biasanya, dalam perkumpulan seperti itu, kebutuhan dan kesulitan bersama dibicarakan. Aktivitas-aktivitas seperti itu perlu makin dikembangkan guna mengatasi rasa cemas dalam kehidupan bersama khususnya di perkotaan. Dengan demikian, kebutuhan akan perhatian, dihargai, hingga aktualisasi diri dapat diwujudkan. Selain itu, perkumpulan-perkumpulan semacam itu menjadi bagian dari kontrol bagi para anggotanya.
Penentu corak lingkungan utama di mana individu dan masyarakat hidup tentu saja adalah negara. Banyak sebab terjadinya kasus bunuh diri dan depressi di tengah masyarakat tidak lepas dari faktor kesulitan ekonomi, rendahnya pendidikan, buruknya tingkat kesehatan, dan beban hidup yang semakin tinggi. Kasus bunuh diri terbanyak di berbagai daerah di Indonesia, termasuk Jakarta, terutama diakibatkan oleh tekanan ekonomi di tengah situasi sosial politik yang carut-marut. Relasi sosial yang sehat hanya dapat terbentuk jika kebutuhan dasar masyarakat terpenuhi—pangan, sandang, dan papan, kesehatan, pendidikan dasar, dan ruang-ruang publik yang memungkinkan orang berinteraksi secara normal.
Menurut E. Kristi Purwandari, pengajar Fak. Psikologi UI, faktor penyelenggaraan kehidupan bernegara yang carut-marut menjadi penyebab depresi terbesar bagi masyarakat Indonesia, terutama kalangan menengah ke bawah. Keadaan seperti ini menyebabkan orang frustasi dan putus harapan karena merasa tidak memiliki masa depan. Seseorang cenderung kecil hati dan cepat menyerah menghadapi realitas hidup. Ditambah dengan makin maraknya ketidakadilan di berbagai bidang (ketidakadilan ekonomi, ketidakadilan hukum, ketidakadilan politik, dan sebagainya) yang membuat hidup di Indonesia dirasakan tidak nyaman. Tidak aneh jika stress dan depresi meningkat.
Di bidang kesehatan, misalnya, pemerintah Indonesia terbukti tidak mampu menyediakan lingkungan sosial yang kondusif untuk kesehatan mental masyarakat. Tentang ini, menurut Kirti, Pemerintah Indonesia masuk dalam kategori sangat buruk dalam layanan kesehatan masyarakat, terutama karena perilaku para penguasa yang membuat kondisi kejiwaan rakyat terganggu, di samping ketidakadilan dan kesewenang-wenangan yang menjadikan orang depresi dan kehilangan makna hidup.
Televisi sebagai media yang banyak menayangkan adegan kekerasan disinyalir juga memiliki andil dalam mengajari bagaimana orang menyelesaikan masalah, terutama pada anak-anak. Maraknya tindak kekerasan yang dilakukan oleh anak sedikit banyak dipengaruhi oleh tayangan itu. Dalam hal ini, negara (pemerintah) mestinya mengatur tayangan tivi agar tidak berdampak buruk pada perilaku anak-anak. Akan tetapi, faktanya?
Perlu Solusi Total
Ada kecenderungan, orang yang mengalami stress mencari solusi yang bersifat sesaat dan justru menimbulkan kemadaratan. Ini ditunjukkan oleh semakin maraknya dunia hiburan, penyaluran hobi, seks bebas, dan sebagainya. Alkohol, obat-obatan, merokok, dan makan berlebihan juga sering dijadikan alat untuk membantu menghadapi stres. Padahal, efeknya hanya berlangsung sementara, dan dalam jangka panjang akan merusak badan dan pikiran atau jiwa. Perilaku lainnya yang terlihat adalah sikap menunda-nunda, perencanaan yang buruk, tidur berlebihan dan menghindari tanggung jawab. Taktik ini malah merugikan karena menimbulkan masalah baru bagi individu tersebut.
Ada juga yang mengalihkannya dalam kegiatan ritual seperti kajian-kajian tasawuf, zikir, majelis taklim, dan sebagainya. Secara personal, ini mungkin bisa membantu, tetapi secara komunal cara ini tidak akan menyelesaikan masalah secara komprehensif. Harus ada penyelesaian yang bersifat kolektif, menyeluruh, dan bersifat sistemik. Semua itu dapat dimulai dari pengembangan SDM secara sehat yang berbasis tauhid, keluarga yang bahagia (sakinah), dan sistem yang kondusif, yakni sistem yang belandaskan pada nilai-nilai yang agung; dialah sistem Islam yang akan melahirkan tata ekonomi, politik, sosial, budaya, dan pendidikan serta layanan sosial yang baik. Hanya dengan sistem Islamlah stress dan depresi sosial dapat diatasi dengan sebaik-baiknya.
Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. (Dra. Zulia Ilmawati, S.Psi; psikolog dan aktivis Hizbut Tahrir Indonesia)