Gejala dan Akar Penyebabnya kenakalan remaja
Istilah stress dan depresi sering tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Setiap permasalahan kehidupan yang menimpa seseorang disebut stressor psikososial, yang dapat mengakibatkan gangguan fungsi organ tubuh. Reaksi tubuh (fisik) dinamakan stress. Manakala fungsi organ-organ tubuh sampai terganggu dinamakan distress. Sedangkan depresi adalah reaksi kejiwaan (psikis) seseorang terhadap stressor yang dialami. Karena faktor fisik dan psikis dalam diri manusia saling mempengaruhi, maka antara stress dan depresi juga saling mempengaruhi dan merupakan satu kesatuan. Reaksi kejiwaan lainnya yang berhubungan dengan stress adalah kecemasan (anxiety).
Kecemasan dan depresi merupakan dua jenis gangguan kejiwaan yang saling berkaitan. Seseorang yang mengalami depresi sering juga mengalami kecemasan, demikian pula sebaliknya. Gejala fisik maupun psikis (depresi dan kecemasan) sering tumpang-tindih, tidak ada batasan yang jelas. Seseorang yang mengalami stress dapat diartikan bahwa orang itu memperlihatkan berbagai keluhan fisik, kecemasan, dan juga depresi. Faktor-faktor psikososial seperti masalah keuangan, pekerjaan, keluarga, hubungan interpersonal dan sebagainya cukup menjadi pemicu terjadinya stress atau depresi pada seseorang. Depresi ditandai dengan kemurungan, kelesuan, ketiadaan gairah hidup, perasaan tidak berguna, putus asa, dan sebagainya.
Terus Meningkat
Dari sekian banyak masalah kesehatan yang cenderung meningkat, kesehatan jiwa merupakan masalah yang makin nyata peningkatannya. Data yang diperoleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan, 10 persen dari populasi penduduk dunia membutuhkan pertolongan atau pengobatan di bidang kesehatan/psikiatri. Bahkan menurut studi World Bank tahun 1993 di beberapa negara, 8,1 persen dari global burden disease (penyakit akibat beban globalisasi) disebabkan oleh masalah kesehatan jiwa, yang menunjukkan dampak yang lebih besar daripada penyakit TBC (7,2 persen), kanker (5,8 persen), jantung (4,4 persen), dan malaria (2,6 persen). Hasil survei Prof. Ernaldi Bahar tahun 1995 dan Direktorat Kesehatan Jiwa tahun 1996 menyatakan, bahwa di Indonesia, 1-3 dari setiap 10 orang mengalami gangguan jiwa. Gangguan jiwa yang dimaksud bukanlah gangguan jiwa yang dipahami oleh sebagian masyarakat sebagai “orang gila”, tetapi dalam bentuk gangguan mental serta perilaku yang gejalanya mungkin tidak disadari oleh masyarakat; seperti depresi, kecemasan, kepanikan, penyakit yang berhubungan dengan kondisi psikologis (psikosomatis); juga yang berhubungan dengan masalah psikososial seperti tawuran, perceraian, kenakalan remaja, dan penyalahgunaan Napza (narkotika, psikotropika, dan zat adiktif yang lain).
Berapa banyak anggota masyarakat Indonesia yang mengalami depresi belum ada data yang pasti. Namun, diperkirakan jumlahnya semakin banyak karena beberapa hal, antara lain: usia harapan hidup semakin bertambah, stressor psikososial semakin berat, berbagai penyakit kronik semakin bertambah, serta kehidupan masyarakat yang semakin hedonistik dan jauh dari nilai-nilai transendental (ruhiah). Meningkatnya angka depresi juga dapat dilihat dari semakin banyaknya pasien yang berobat di klinik psikiatri di rumah sakit, meningkatnya pemakaian obat-obat anti depresi, dan semakin meningkatnya kasus bunuh diri.
Depresi merupakan penyebab utama bunuh diri. Bunuh diri sebagai jalan terakhir bagi orang yang mengalami depresi juga meningkat tajam. Jumlah kasus bunuh diri di Indonesia selama 6 bulan terakhir pada tahun 2004 sudah mencapai 92 kasus. Hampir menyamai jumlah seluruh korban tahun 2003 yang tercatat 112 kasus. Peningkatan kasus ini jelas merupakan suatu gejala yang mencemaskan. Faktor penyebab dari banyaknya kasus bunuh diri adalah adanya ketidakmampuan seseorang dalam mengelola stress yang dialami.
Di AS, setiap tahun sekitar 1,3 juta orang mencoba bunuh diri dan lebih kurang 400.000 orang di antaranya tewas. Angka ini 1,5 kali lebih banyak daripada angka kematian akibat tindak kriminal. Walhasil, angka bunuh diri di AS menempati urutan ketiga terbesar penyebab kematian penduduk usia 15-24 tahun. Salah satu tempat favorit untuk bunuh diri adalah jembatan terkenal Golden Gate Bridge di San Fransisco. Lebih kurang 850 orang di laporkan telah tewas bunuh diri di jembatan berwarna merah yang sangat terkenal itu (Kompas, 17/7/2004).
Faktor Penyebab
Penyebab stress kadangkala mudah untuk dideteksi, tetapi sering sulit untuk diketahui. Ada yang mudah untuk dihilangkan, ada yang sulit atau bahkan tidak bisa dihindari. Tiga sumber utama adalah: lingkungan (keluarga dan masyarakat serta negara), badan dan pikiran yang keduanya bisa dimasukkan sebagai faktor individu.
Faktor Individu.
Stress dapat ditimbulkan oleh perubahan faali pada tubuh seseorang yang terjadi. Contohnya, perubahan yang terjadi waktu remaja, perubahan fase kehidupan akibat fluktuasi hormon, dan proses penuaan. Selain itu, datangnya penyakit, makanan yang tidak sehat, kurang tidur dan olahraga juga akan mempengaruhi respon terhadap stress.
Potensi stress utama juga datang dari pikiran yang terus-menerus menginterpretasikan isyarat-isyarat dari lingkungan secara tidak tepat. Bagaimana seseorang menginterpretasi peristiwa-peristiwa yang terjadi menentukan apakah ia akan mengalami stress atau tidak. Ini sangat dipengaruhi oleh cara berpikir seseorang dari yang bersifat sederhana sampai yang filosifis menyangkut pandangan hidup. Contoh sederhana, di depan ada gelas berisi air separuh, bagaimana seseorang milihatnya? Sebagai setengah penuh atau setengah kosong? Pikiran-pikiran yang menyebabkan stress sering bersifat negatif, penuh kegagalan, katastrofik, hitam-putih, terlalu digeneralisasi, tidak berdasarkan fakta yang cukup, dan terlalu dianggap pribadi.
Pandangan hidup seseorang sangat berpengaruh pada bagaimana orang tersebut menjalani kehidupannya. Pandangan hidup yang materialistis tentu akan mempengaruhi cara berpikir dan perilaku seseorang. Tolok ukur keberhasilan dan kesuksesan hidup jadinya bersifat material. Akibatnya, jika kebutuhan itu tidak terpenuhi, akan timbul kegelisahan yang luar biasa. Ketika orang kehilangan pangkat, jabatan, status sosial, uang, kekuatan fisik, intelektual, cinta, perhatian, dan lain-lain yang bersifat lahiriah, maka ia bisa merasa tak berguna lagi.
Di sinilah pentingnya memahami apa sesungguhnya hakikat manusia diciptakan. Pemahaman ini akan mengubah cara pandang terhadap peristiwa apapun yang dihadapi dalam hidup ini sehingga memunculkan keberanian dan optimisme.
Faktor Lingkungan.
Lingkungan selalu membuat kita harus memenuhi tuntutan dan tantangan, yang karenanya merupakan sumber stress yang potensial; misalnya ketika orang mengalami musibah akibat terjadinya bencana alam (banjir, gempa bumi dan sebagainya) atau cuaca buruk, kemacetan lalu-lintas, beban pekerjaan, problema rumahtangga, dan hubungan antarmanusia; atau ketika orang dituntut untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan kondisi keuangan, pindah kerja, atau kehilangan orang yang dicintai.
Lingkungan paling dekat dan karenanya sangat mudah mempengaruhi kondisi kejiwaan seseorang adalah keluarga. Kehadiran orangtua (terutama ibu) dalam perkembangan jiwa anak amat penting. Jika anak kehilangan peran dan fungsi ibunya—sehingga dalam proses tumbuh kembangnya ia kehilangan haknya untuk dibina, dibimbing, diberikan kasih sayang, perhatian, dan sebagainya—maka ia disebut mengalami “deprivasi maternal”. Jika peran ayahnya yang tidak berfungsi, maka ia disebut sebagai “deprivasi paternal”.
Dalam keluarga yang mengalami disfungsi perkawinan, peran orangtua dalam mendidik anak akan terganggu. Akibatnya, besar kemungkinan selama pertumbuhannya, anak akan mengalami deprivasi. Anak mungkin tidak kehilangan ibunya secara fisik. Namun, jika peran ibu yang amat penting dalam proses imitasi dan identifikasi dirinya tidak ada, maka perkembangannya akan terganggu. Hal yang sama bakal terjadi pada anak jika figur dan peran ayahnya tidak ada.
Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang mengalami disfungsi perkawinan dan mengalami deprivasi maternal (juga paternal dan atau parental), mempunyai risiko tinggi menderita gangguan kepribadiannya; yaitu gangguan dalam perkembangan mental-intelektual, perkembangan mental-emosional, bahkan perkembangan psikososial dan spiritualnya. Tidak jarang dari mereka, jika kelak dewasa, akan memperlihatkan berbagai perilaku yang menyimpang, anti sosial, bahkan sampai melakukan tindak kriminal.
Anak-anak sebagaimana digambarkan di atas pada umumnya dibesarkan dalam keluarga yang tidak sehat dan tidak bahagia. Hal ini disebabkan karena ketidakberadaan orangtua atau karena tidak berfungsinya orangtua sebagaimana mestinya. Dalam 20 tahun terakhir ini, para ahli telah melakukan berbagai penyelidikan perihal pola perkawinan/keluarga yang ternyata tidak sehat dan tidak membawa kebahagian rumahtangga, yang dampaknya amat tidak baik bagi tumbuh-kembang anak.
Dua sarjana dari Universitas Nebraska (AS), yaitu Prof. Nick Stinnet dan Prof. John De Frain, dalam studinya yang berjudul, “The National Study On Family Strenght,” mengemukakan bahwa paling sedikit harus ada enam kriteria bagi perwujudan suatu keluarga/rumahtangga yang dapat dikategorikan sebagai keluarga yang sehat dan bahagia, yang amat penting bagi tumbuh kembangnya anak. Keenam kriteria tersebut adalah:
§ Kehidupan beragama dalam keluarga.
§ Mempunyai waktu untuk bersama.
§ Mempunyai pola komunikasi yang baik antar sesama anggota keluarga.
§ Saling menghargai satu sama lain.
§ Masing-masing anggota keluarga merasa terikat dalam ikatan keluarga sebagai kelompok.
§ Jika terjadi suatu permasalahan, mampu menyelesaikan secara positif dan konstruktif.
Para ahli berpendapat bahwa perceraian, perpisahan, serta pertengkaran antara ayah dan ibu akan berpengaruh pada anak. Anak mempunyai risiko tinggi untuk menjadi nakal dengan tindakan-tindakan anti sosial. Berikut ini adalah hasil penelitian yang menunjukkan adanya pengaruh kondisi orangtua terhadap kenakalan anak. (M. Rutter: Parent-Child Separation, 1980).
1. Pada keluarga broken homes, kenakalan anak laki-laki jauh lebih tinggi presentasinya daripada keluarga yang orangtuanya meninggal atau keluarga utuh.
2. Meskipun keluarga utuh (kedua orangtua masih hidup dan tinggal satu atap), suasana rumah yang tidak sehat dan tidak bahagia akan menyebabkan prosentase anak menjadi nakal semakin tinggi. Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Graig dan Glick (1965), Mc Cord (1959), Tait dan Hodges (1962).
3. Ada perbedaan perkembangan anak yang hidup dalam suasana rumah yang tegang (tension) dan hangat (warm). Suasana rumahtangga yang tegang mengakibatkan tingginya prosentase perilaku menyimpang anak. Sebaliknya, suasana rumah yang hangat di antara kedua orangtua menurunkan prosentase kenakalan anak.
4. Hubungan buruk antara anak dan kedua orangtua mengakibatkan prosentase kenakalan anak meningkat.
Lingkungan kedua yang memasok faktor munculnya stress tentu saja adalah masyarakat. Masyarakat yang berpaham materialis cenderung individualis. Kepekaan terhadap lingkungan sosialnya sangat rendah. Orang akan bersaing untuk untuk dirinya sendiri dengan berbagai cara tanpa mempedulikan kepentingan orang lain. Hubungan interpersonal semakin fungsional dan cenderung mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan seperti keramahan, perhatian, toleransi, dan tenggang rasa. Akibatnya, tekanan isolasi dan keterasingan kian kuat; orang makin mudah kesepian di tengah keramaian. Inilah yang disebut lonely crowded, gejala mencolok dari masyarakat kapitalis di mana-mana.
Orang yang banyak mengikuti kegiatan sosial seperti pengajian, dakwah, dan kegiatan sosial lain akan merasa dirinya diperhatikan sebagai bagian dari kebersamaan. Biasanya, dalam perkumpulan seperti itu, kebutuhan dan kesulitan bersama dibicarakan. Aktivitas-aktivitas seperti itu perlu makin dikembangkan guna mengatasi rasa cemas dalam kehidupan bersama khususnya di perkotaan. Dengan demikian, kebutuhan akan perhatian, dihargai, hingga aktualisasi diri dapat diwujudkan. Selain itu, perkumpulan-perkumpulan semacam itu menjadi bagian dari kontrol bagi para anggotanya.
Penentu corak lingkungan utama di mana individu dan masyarakat hidup tentu saja adalah negara. Banyak sebab terjadinya kasus bunuh diri dan depressi di tengah masyarakat tidak lepas dari faktor kesulitan ekonomi, rendahnya pendidikan, buruknya tingkat kesehatan, dan beban hidup yang semakin tinggi. Kasus bunuh diri terbanyak di berbagai daerah di Indonesia, termasuk Jakarta, terutama diakibatkan oleh tekanan ekonomi di tengah situasi sosial politik yang carut-marut. Relasi sosial yang sehat hanya dapat terbentuk jika kebutuhan dasar masyarakat terpenuhi—pangan, sandang, dan papan, kesehatan, pendidikan dasar, dan ruang-ruang publik yang memungkinkan orang berinteraksi secara normal.
Menurut E. Kristi Purwandari, pengajar Fak. Psikologi UI, faktor penyelenggaraan kehidupan bernegara yang carut-marut menjadi penyebab depresi terbesar bagi masyarakat Indonesia, terutama kalangan menengah ke bawah. Keadaan seperti ini menyebabkan orang frustasi dan putus harapan karena merasa tidak memiliki masa depan. Seseorang cenderung kecil hati dan cepat menyerah menghadapi realitas hidup. Ditambah dengan makin maraknya ketidakadilan di berbagai bidang (ketidakadilan ekonomi, ketidakadilan hukum, ketidakadilan politik, dan sebagainya) yang membuat hidup di Indonesia dirasakan tidak nyaman. Tidak aneh jika stress dan depresi meningkat.
Di bidang kesehatan, misalnya, pemerintah Indonesia terbukti tidak mampu menyediakan lingkungan sosial yang kondusif untuk kesehatan mental masyarakat. Tentang ini, menurut Kirti, Pemerintah Indonesia masuk dalam kategori sangat buruk dalam layanan kesehatan masyarakat, terutama karena perilaku para penguasa yang membuat kondisi kejiwaan rakyat terganggu, di samping ketidakadilan dan kesewenang-wenangan yang menjadikan orang depresi dan kehilangan makna hidup.
Televisi sebagai media yang banyak menayangkan adegan kekerasan disinyalir juga memiliki andil dalam mengajari bagaimana orang menyelesaikan masalah, terutama pada anak-anak. Maraknya tindak kekerasan yang dilakukan oleh anak sedikit banyak dipengaruhi oleh tayangan itu. Dalam hal ini, negara (pemerintah) mestinya mengatur tayangan tivi agar tidak berdampak buruk pada perilaku anak-anak. Akan tetapi, faktanya?
Perlu Solusi Total
Ada kecenderungan, orang yang mengalami stress mencari solusi yang bersifat sesaat dan justru menimbulkan kemadaratan. Ini ditunjukkan oleh semakin maraknya dunia hiburan, penyaluran hobi, seks bebas, dan sebagainya. Alkohol, obat-obatan, merokok, dan makan berlebihan juga sering dijadikan alat untuk membantu menghadapi stres. Padahal, efeknya hanya berlangsung sementara, dan dalam jangka panjang akan merusak badan dan pikiran atau jiwa. Perilaku lainnya yang terlihat adalah sikap menunda-nunda, perencanaan yang buruk, tidur berlebihan dan menghindari tanggung jawab. Taktik ini malah merugikan karena menimbulkan masalah baru bagi individu tersebut.
Ada juga yang mengalihkannya dalam kegiatan ritual seperti kajian-kajian tasawuf, zikir, majelis taklim, dan sebagainya. Secara personal, ini mungkin bisa membantu, tetapi secara komunal cara ini tidak akan menyelesaikan masalah secara komprehensif. Harus ada penyelesaian yang bersifat kolektif, menyeluruh, dan bersifat sistemik. Semua itu dapat dimulai dari pengembangan SDM secara sehat yang berbasis tauhid, keluarga yang bahagia (sakinah), dan sistem yang kondusif, yakni sistem yang belandaskan pada nilai-nilai yang agung; dialah sistem Islam yang akan melahirkan tata ekonomi, politik, sosial, budaya, dan pendidikan serta layanan sosial yang baik. Hanya dengan sistem Islamlah stress dan depresi sosial dapat diatasi dengan sebaik-baiknya.
Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. (Dra. Zulia Ilmawati, S.Psi; psikolog dan aktivis Hizbut Tahrir Indonesia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar